Perhatikan Darimana Kita Mengambil Ilmu Agama?

Manhaj

Menuntut ilmu agama untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih adalah tanda kebaikan yang Allah Ta’ala kehendaki bagi hamba-hamba yang dipilih-Nya, sekaligus merupakan jalan menuju surga-Nya. Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan menjadikannya paham (berilmu) tentang (urusan) agama (Islam)”[1].

Dalam hadits shahih lainnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memempuh suatu jalan dengan tujuan untuk menuntut ilmu (agama), maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga”[2].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Hadits di atas (yang pertama) menunjukkan bahwa orang yang tidak dipahamkan dalam urusan agama maka (berarti) Allah tidak menghendaki kebaikan baginya”[3].

Dan tentu saja, pemahaman agama yang dimaksud di sini adalah imu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih, inilah ilmu yang semakin dipelajari maka semakin menguatkan iman dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu” (QS Faathir: 28).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Ayat ini merupakan dalil (argumentasi) yang menunjukkan keutamaan (mempelajari) ilmu agama, karena hal itu membangkitkan rasa takut kepada Allah”[4].

Inilah sebab utama yang menjadikan ilmu agama mempunyai kedudukan dan keutamaan yang sangat besar, sebagaimana ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri: “Sesunguhnya ilmu agama dipelajari tidak lain untuk meraih ketakwaan kepada Allah, maka dengan sebab (tujuan mulia inilah) ilmu agama diutamakan (daripada amal lainnya). Kalau bukan karena tujuan ini maka niscaya ilmu agama sama (kedudukannya) dengan yang lain”[5].

Maka karena agungnya kedudukan dan keutamaan ilmu yang bermanfaat ini, tentu saja untuk mendapatkannya seorang hamba haruslah mengikuti adab-adab menuntut ilmu dan syarat-syaratnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka yang menjelaskan adab-adab tersebut.

Di antara adab dan syarat yang paling penting dalam hal ini adalah mengetahui sumber pengambilan ilmu yang benar dan memahami siapa yang pantas dijadikan sebagai rujukan dan guru dalam menimba ilmu agama.

Imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata: “Sesungguh-nya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu meraih ketakwaan kapada Allah), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu”[6].

Artinya: Janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya untuk menjadi tempat mengambil ilmu[7].

Fenomena pemilihan guru agama di tengah kaum muslimin

Jika kita memperhatikan kondisi mayoritas kaum muslimin dalam memilih guru/sumber rujukan dalam ilmu agama, maka kita akan dapati kenyataan yang sangat menyedihkan dan bahkan memprihatinkan.

Kebanyakan kaum muslimin justru lebih teliti dan berhati-hati dalam memilih dan menyeleksi sumber rujukan dalam urusan-urusan dunia mereka, seperti ketika mereka ingin berkonsultasi tentang kesehatan atau mengobati penyakit yang mereka rasakan, maka mereka akan sangat teliti mencari dokter yang spesialis, terkenal dan berpengalaman, bahkan termasuk memperhatikan alat-alat dan fasilitas canggih yang dimiliki oleh dokter tersebut. Demikian pula ketika mereka ingin memperbaiki kendaraan mereka misalnya, maka mereka akan sangat selektif mencari mekanik yang ahli, terkenal, perpengalaman dan memiliki peralatan serta fasilitas yang lengkap.

Adapun untuk urusan agama, maka kita dapati kebanyakan mereka sangat tidak selektif dalam mencari sumber rujukannya, bahkan terkesan ‘asal comot’ dan hanya memperturutkan hawa nafsu.

Di antara mereka, ada yang memilih guru agama/penceramah hanya karena orang tersebut pandai melucu/melawak, ada juga yang hanya karena orang tersebut populer dan sering muncul di televisi, bahkan ada juga yang hanya karena orang tersebut mantan artis terkenal misalnya.

Sebagian yang lain ada yang memilih guru hanya dengan pertimbangan keindahan bahasa dan retorika dalam menyampaikan ceramah/khutbah, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang tentu jauh dari kriteria ilmu yang benar dan bermanfaat sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama Salaf.

Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum yang berkata di hadapan murid-muridnya para Tabi’in: “Sesungguhnya kalian (saat ini) berada di jaman yang banyak terdapat orang-orang yang (benar-benar) berilmu, tapi sedikit yang pandai berkhutbah/berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu jaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang (benar-benar) berilmu”[8].

Bahkan lebih dari itu, ilmu yang benar dan bermanfaat tidak hanya berupa hafalan yang kuat terhadap ilmu tapi tanpa melahirkan rasa takut kepada Allah dan mewariskan amal shalih, sebagaimana firman-Nya:

{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}

Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allah)” (QS Faathir:28).

Ketika mengomentari ayat di atas, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum berkata: “Bukanlah ilmu (yang bermanfaat) itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits, akan tetapi ilmu itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allah)”[9].

Ilmu yang bermanfaat dan sumber pengambilannya

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan al-Qur-an dan Hadits, (begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya”[10].

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa ilmu yang benar dan bermanfaat memiliki sumber yang jelas, yaitu al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan pemahaman yang benar dari penjelasan para Shahabat y dan para ulama Ahlu sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan benar. Mereka inilah yang direkomendasikan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah:100).

Maka ilmu yang benar dan bermanfaat bukanlah hanya sekedar kepandaian berceramah atau menyusun kata-kata dan retorika yang indah, bahkan bisa jadi orang yang pandai berceramah dan menyampaikan kata-kata yang indah bukanlah orang yang memiliki ilmu yang benar.

Di atas telah dinukil ucapan Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum yang berkata di hadapan murid-muridnya para Tabi’in: “Sesungguhnya kalian (saat ini) berada di jaman yang banyak terdapat orang-orang yang (benar-benar) berilmu, tapi sedikit yang pandai berkhutbah/berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu jaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang (benar-benar) berilmu”[11].

Inilah di antara alasan utama yang menjadikan para ulama Ahlus sunnah sangat berhati-hati dalam memilih guru dan mereka sangat keras memperingatkan para penutut ilmu dalam masalah ini.

Hal ini tentu sangatlah wajar dan pantas, karena mempelajari ilmu agama adalah sebab utama, dengan taufik dari Allah, yang akan menumbuhkan keimanan dan ketakwaaan kepada Allah, maka untuk mewujudkan tujuan ini tentu sangat membutuhkan pembimbing dan guru yang baik, karena dalam hal ini guru yang baik akan menjadi sumber kebaikan yang memberikan pengaruh baik kepada orang-orang yang belajar ilmu darinya. Maka tatkala guru itu sendiri tidak memiliki kebaikan dan ilmu yang bermanfaat, maka bagaimana dia akan bisa memberikan pengaruh baik kepada orang lain? Salah satu ungkapan Arab yang terkenal mengatakan: “Orang yang tidak memiliki sesuatu maka dia tidak bisa memberikan apa-apa”[12].

Dalam atsar yang telah dinukil di atas, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu meraih ketakwaan kapada Allah), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu”[13].

Imam Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i rahimahullah berkata: “Dulu para ulama Salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama, maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya, (pengamalannya terhadap) sunnah Rasulullah r dan penampilannya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya”[14].

Bahkan dulunya para ulama Salaf sangat teliti mencari informasi dan bertanya tentang keadaan, akhlak dan tingkah laku seseorang yang akan mereka jadikan sebagai guru untuk menimba ilmu agama.

Imam ‘Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi rahimahullah berkata: “Dulunya para ulama (Ahlus sunnah) sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para rawi (guru dalam periwayatan hadits), salah seorang ulama Salaf, yaitu al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawi hadits yang terpercaya dari generasi Atba’ut tabi’in) berkata: Dulu jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat) hadits dari seorang guru, maka kami akan bertanya (dengan teliti) tentang keadaannya, sampai-sampai ada yang bertanya: Apakah kalian ingin menikahkannya?”[15].

Siapakah yang pantas dijadikan sebagai guru dan siapa yang tidak pantas?

Para ulama Salaf, sejak jaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum dan kemudian diikuti oleh para Imam Ahlus sunnah setelah itu, mereka senantiasa membedakan dan menjelaskan siapa orang yang pantas diambil ilmu darinya dan siapa yang tidak pantas.

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid bin Jabr al-Makki, dia berkata: Suatu hari datang Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, lalu mulailah Busyair menyampaikan hadits dan berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda… Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda…Tetapi Ibnu ‘Abbas t tidak mendengarkan hadits yang disampaikannya dan tidak menoleh kepadanya. Maka Busyair berkata: Wahai Ibnu ‘Abbas, mengapa aku melihat kamu tidak mau mendengarkan hadits yang aku sampaikan? (Pantaskah) aku menyampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamu tidak mau mendengarkannya? Maka Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya kami (para Shahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain) dulunya, ketika kami mendengar seseorang menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami segera menoleh kepadanya dan langsung mengarahkan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi tatkala manusia telah menempuh jalan yang terpuji dan tercela, maka kamipun tidak mau mengambil ilmu dari mereka kecuali yang telah kami kenal”[16].

Prinsip yang lurus ini kemudian diterapkan oleh generasi yang datang setelah para Shahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain, Imam besar dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin berkata: “Dulunya para Salaf tidak menanyakan tentang sanad (riwayat hadits), lalu ketika terjadi fitnah (dengan banyaknya orang-orang yang menyimpang dan meyelisishi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) para Salafpun (mulai bertanya tentang sanad riwayat hadits), mereka berkata: Sebutkan kepada kami rawi-rawi (hadits yang) kalian (sampaikan), kemudian para Salaf melihat kepada (rawi-rawi tersebut) jika mereka adalah Ahlus sunnah maka hadits riwayat merekapun diterima, tapi jika mereka adalah Ahli bid’ah maka hadits riwayat mereka ditolak”[17].

Imam kota Madinah di jamannya, Imam Malik bin Anas rahimahullah, menjelaskan hal ini dengan lebih rinci dalam ucapan beliau: “Tidak boleh mengambil ilmu (agama) dari empat (type manusia) dan boleh mengambil ilmu dari selain mereka; tidak boleh mengambil ilmu dari mubtadi’ (ahli bid’ah) yang mengajak (orang lain) kepada bid’ahnya, tidak boleh mengambil ilmu dari orang dungu yang menampakkan kedunguannya terang-terangan, tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang selalu berdusta ketika berbicara dengan orang lain, meskipun dia jujur dalam (menyampaikan) hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang tidak mengetahui (ahli dalam) ilmu agama”[18].

Bahkan pembahasan masalah penting ini dicantumkan oleh para ulama Ahlus sunnah di kitab-kitab mereka yang memuat adab-adab dalam menuntut ilmu agama. Seperti kitab “Hilyatu thalibil ‘ilmi” tulisan Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid – semoga Allah merahmatinya -, beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang larangan at-talaqqi ‘an al-mubtadi’ (larangan mengambil ilmu agama dari Ahli bid’ah), beliau berkata: “Jauhilah abul jahl (orang yang bodoh) Ahli bid’ah, yang terjangkiti penyimpangan aqidah dan tertimpa awan pemikiran yang kacau. Dialah orang yang berhukum dengan hawa nafsu dan menamakannya sebagai akal (logika), serta berpaling dari dalli (al-Qur’an dan hadits yang shahih), padahal logika yang benar tidak lain ada pada dalil. Dialah orang yang selalu berpegang dengan (hadits) yang lemah dan berpaling dari (hadits yang) shahih. Orang seperti ini juga disebut sebagai ‘Ahli sybhat’ (orang yang memiliki pemahaman agama yang rancu dan rusak) dan ‘Ahli hawa’ (pengekor hawa nafsu). Oleh karena itu, Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak – semoga Allah merahmatinya – menyebut Ahli bid’ah sebagai ‘al-ashagir’ (orang-orang yang kecil/kerdil)”[19].

Termasuk yang diperingatkan oleh para ulama untuk tidak dijadikan sebagai guru dalam ilmu agama adalah orang yang tidak dikenal pernah mempelajari dan mendalami ilmu sunnah sehingga pemahaman agamanya rancu atau minimal diragukan kebenarannya.

Imam ‘Abdur Rahman bin Yazid bin Jabir asy-Syami rahimahullah berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu kecuali kepada orang yang dipersaksikan (pernah) menuntut ilmu (sunnah)”[20].

Imam Syu’bah bin al-Hajjaj al-Bashri rahimahullah berkata: “Ambillah ilmu dari orang-orang yang dikenal”[21].

Dalam hal ini Imam al-Khathib al-Bagdadi rahimahullah berkata: “Sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk memilih guru yang dikenal pernah mempelajari hadits (sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta diakui ketelitian dan kedalaman ilmunya”[22].

Apakah setiap orang yang dikenal shalih dan rajin beribadah secara lahir pantas dijadikan sebagai guru ilmu agama?

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang shalih dan taat beribadah adalah orang yang pantas untuk kita jadikan sebagai teman dekat dan panutan dalam amal shalih. Akan tetapi untuk menjadikan seseorang sebagai guru ilmu agama bukan hanya dengan melihat keshalihan dan ketekunan beribadah orang tersebut, kriteria yang juga harus ada pada orang tersebut adalah pemahaman Islam yang lurus dan jauh dari syubhat (kerancuan dalam memahami Islam), kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.

Imam besar dari generasi Tabi’in, Abu az-Zinad ‘Abdullah bin Dzakwan al-Madani berkata: “Aku pernah menjumpai di kota Madinah seratus orang (shalih) yang semuanya sangat jujur dan amanah, tapi tidak ada yang mempelajari ilmu hadits dari mereka, karena mereka bukan ahlinya (tidak pantas dijadikan guru)”[23].

Imam Malik rahimahullah berkata: “Aku pernah menjumpai di kota ini (kota Madinah) para syaikh yang utama, shalih dan rajin beribadah, mereka menyampaikan ilmu hadist, tapi aku tidak pernah mendengar (mempelajari) satu haditspun dari mereka, karena mereka tidak mengetahui (mendalami) ilmu hadits”[24].

Bahkan beberapa ulama Salaf menjelaskan bahwa tidak sedikit dari orang-orang shalih yang tidak memiliki keahlian dalam menyampaikan ilmu agama, justru dengan sebab itu mereka banyak melakukan kesalahan dalam menyampaikan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga riwayat hadits mereka tertolak.

Imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan dan Abu ‘Ashim an-Nabil berkata: “Kamu tidak akan melihat (mendapati) orang-orang yang shalih lebih banyak berdusta (melakukan kesalahan) dalam suatu hal melebihi (ketika meriwayatkan) hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [25].

Imam Muslim rahimahullah ketika mengomentari ucapan di atas, beliau berkata: “Lisan mereka melafazkan sesuatu yang dusta (karena salah dalam meriwayatkan hadits) tetapi mereka tidak sengaja berdusta”[26].

Lebih lanjut, Imam at-Tirmidzi menjelaskan hal ini dalam ucapan beliau: “Terkadang ada orang shalih yang sangat rajin beribadah, tetapi dia tidak bisa menegakkan persaksian dan tidak bisa menghafalnya, demikian pula (dalam meriwayatkan) hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hafalannya yang buruk dan kelalaiannya yang sangat parah”[27].

Bahkan yang lebih parah dari semua itu, tersebarnya hadits-hadits palsu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk sebab terbesarnya adalah riwayat dari orang-orang shalih tersebut, yang kemudian mudah diterima oleh kaum muslimin karena bersangka baik dengan hanya melihat keshalihan mereka, sehingga kemudian hadits-hadits palsu tersebut mudah tersebar di tengah-tengah umat Islam.

Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Orang-orang yang shalih selalu melakukan hal ini (yaitu) mereka meriwayatkan hadits-hadits yang palsu dan batil (rusak) tentang keutamaan amal-amal ibadah, beberapa orang di antara mereka yang dituduh oleh para ulama Ahli hadits sebagai pemalsu hadits-hadits tersebut”[28].

Imam an-Nawawi berkata: “Para pemalsu hadits (atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ada beberapa kelompok, yang paling besar bahayanya adalah orang-orang yang dianggap zuhud (ahli ibadah), mereka memalsukan hadits dengan niat ibadah, kemudian hadits-hadits palsu tersebut mudah tersebar (di tengah umat Islam) karena percaya kepada mereka”[29].

Antara berprasangka baik dan memilih guru yang pantas

Sebagian dari kaum muslimin ada yang berkata: “Yang penting orang tersebut terlihat baik dan tidak terlihat ada penyimpangan padanya, maka kita boleh mengambil ilmu darinya, meskipun kita tidak mengenal keadaannya secara rinci, karena kita diperintahkan untuk berprasangka baik kepada setiap muslim sampai ada bukti nyata dan jelas tentang keburukan dan kesalahannya”. Apakah ucapan dan alasan ini bisa dibenarkan dalam hal memilih guru?

Jawabannya: ucapan dan alasan tersebut jelas keliru, ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:

1- Memang benar kita diperintahkan untuk berprasangka baik kepada setiap muslim, selama tidak terlihat keburukan dan kesalahan yang nyata darinya. Akan tetapi dalam masalah memilih guru harus ada kriteria lain yang dipenuhi, yaitu pemahaman Islam yang lurus serta keahlian dan penguasaan terhadap ilmu agama, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Oleh karena itu, mayoritas ulama Ahli hadits membantah dan menyalahkan Imam Ibnu Hibban yang menulis kitab “ats-Tsiqaat” (rawi-rawi yang terpercaya) dan mencantumkan di dalamnya sejumlah rawi hadits yang tidak dikenal keadaannya oleh para ulama Ahli hadits, karena beliau hanya melihat penampilan lahir dari rawi-rawi tersebut.

Imam Ibnu Hibban berkata: “Sesungguhnya orang yang ‘adil (terpercaya) adalah orang yang tidak diketahui ada al-jarh (kritikan/celaan) padanya, karena kritikan adalah lawan dari pujian, maka barangsiapa yang tidak dicela berarti dia adalah orang yang dipuji sampai jelas adanya kritikan padanya”[30].

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menyanggah ucapan Imam Ibnu Hibban tersebut, beliau berkata: “Pendapat Ibnu Hibban ini adalah pendapat yang aneh dan mayoritas ulama menentangnya. Inilah metode yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam kitab “ats-Tsiqaat” yang ditulisnya, dia mencantumkan sejumlah rawi dalam kitab tersebut (menganggapnya sebagai rawi-rawi yang terpercaya) padahal Imam Abu Hatim (ar-Razi) dan imam-imam lainnya menegaskan bahwa rawi-rawi tersebut adalah majhul (tidak dikenal keadaannya)”[31].

Bahkan Imam al-Khathib al-Bagdadi mencantumkan bab khusus untuk menyanggah dan menjelaskan kesalahan pendapat ini dalam kitab beliau “al-Kifaayah fi ‘ilmir riwaayah” (hlmn 81), yaitu bab: Bantahan terhadap orang yang menganggap bahwa al-‘adaalah (keterpercayaan dalam riwayat hadits) adalah (hanya) dengan menampakkan keislaman dan tidak memperlihatkan kefasikan (keburukan) secara lahir.

Dalam bab ini beliau menjelaskan bahwa di samping kebaikan Islam secara lahir, sifat jujur serta amanah, kesucian (tidak menampakkan keburukan) dan lurusnya pemahaman, cara untuk mengetahui sifat terpercaya seorang rawi sehingga riwayat haditsnya diterima adalah dengan menguji keadaannya dan meneliti perbuatannya, yang dengan itu kita yakin bahwa dia adalah rawi yang terpercaya atau tidak[32].

Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa keterpercayaan seorang rawi dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini juga berlaku dalam hal menentukan siapa yang pantas dijadikan sebagai guru agama, ditetapkan dengan salah satu dari dua hal:

– Dikenalnya orang tersebut dengan sifat-sifat baik dan tersebarnya pujian kepadanya sebagai orang yang jujur, amanah dan terpercaya, seperti para Imam besar Ahlus sunnah, misalnya Imam Malik bin Anas, Imam asy-Syafi’I, Imam Ahmad, Imam al-Bukhari dan lain-lain.

– Pernyataan dan penegasan dari para Imam Ahli hadits bahwa orang tersebut adalah terpercaya[33].

2- Para ulama Salaf sangat teliti dan selektif dalam memilih guru agama, bahkan mereka selalu mencari informasi yang lengkap tentang seseorang yang akan dijadikan sebagai guru ilmu agama, sebagaimana yang telah kami nukilkan di atas.

Imam Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i berkata: “Dulu para ulama Salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama, maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya, (pengamalannya terhadap) sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penampilannya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya”[34].

Imam ‘Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata: “Dulunya para ulama (Ahlus sunnah) sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para rawi (guru dalam periwayatan hadits), salah seorang ulama Salaf, yaitu al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawi hadits yang terpercaya dari generasi Atba’ut tabi’in) berkata: Dulu jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat) hadits dari seorang guru, maka kami akan bertanya (dengan teliti) tentang keadaannya, sampai-sampai ada yang bertanya: Apakah kalian ingin menikahkannya?”[35].

Oleh karena itu, para ulama Ahli hadits menolak dan melemahkan hadits seorang rawi yang keadaannya tidak dikenal (majhulul hal)[36].

3- Orang yang tidak dikenal dan diketahui keadaannya, menurut para ulama Salaf, tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru ilmu agama, meskipun tidak terlihat padanya keburukan dan penyimpangan, sebagaimana dalam jawaban poin pertama.

Di atas telah kami nukil dan jelaskan bahwa para ulama Salaf menolak mengambil ilmu dari orang-orang yang shalih dan rajin beribadah jika mereka tidak memiliki kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama, sehingga tidak pantas dijadika sebagai guru.

Imam besar dari generasi Tabi’in, Abu az-Zinad ‘Abdullah bin Dzakwan al-Madani berkata: “Aku pernah menjumpai di kota Madinah seratus orang (shalih) yang semuanya sangat jujur dan amanah, tapi tidak ada yang mempelajari ilmu hadits dari mereka, karena mereka bukan ahlinya (tidak pantas dijadikan guru)”[37].

Imam Malik berkata: “Aku pernah menjumpai di kota ini (kota Madinah) para syaikh yang utama, shalih dan rajin beribadah, mereka menyampaikan ilmu hadist, tapi aku tidak pernah mendengar (mempelajari) satu haditspun dari mereka, karena mereka tidak mengetahui (mendalami) ilmu hadits”[38].

Kalau orang yang telah jelas keshalihan, ketekunan beribadah dan kejujurannya saja tidak bisa dijadikan sebagai guru jika tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, apalagi orang yang tidak dikenal keadaannya, maka tentu lebih tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru agama.

Mengapa harus mengikuti metode para ulama Salaf?

Inilah metode para ulama Salaf dalam menuntut ilmu dan memilih guru ilmu agama yang benar, guna meraih ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih.

Tentu saja metode inilah yang seharusnya berusaha untuk kita ikuti dalam semua perkara agama kita, apalagi dalam urusan menuntut ilmu agama yang merupakan sebab utama limpahan taufik dari Allah Ta’ala untuk kebaikan hamba-Nya.

Inilah metode beragama yang diridhai Allah Ta’ala dan dijamin kebaikannya, sebagaimana dalam firman-Nya:

{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah:100).

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka”[39].

Ketika menjelaskan makna hadits di atas Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi yang terbaik secara mutlak[40] adalah generasi di masa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (para sahabat), dan ini mengandung pengertian keterdepanan mereka dalam seluruh aspek kebaikan (dalam agama ini), karena kalau kebaikan mereka (hanya) dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan menyeluruh) maka mereka tidak akan dinamakan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai) generasi yang terbaik secara mutlak”[41].

Imam besar Ahlus Sunnah dari generasi Tabi’in, al-Hasan al-Bashri menggambarkan dampak positif dari ilmu yang bermanfaat di masa para ulama Salaf, beliau berkata: “Dulu jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh positif ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangan (anggota badan)nya”[42].

Beliau juga berkata: “Orang yang memahami ilmu agama adalah orang yang zuhud dalam (urusan) dunia, memiliki pemahaman yang dalam terhadap agama dan selalu tekun beribadah kepada Rabbnya (Allah Ta’ala)”[43].

Semoga Allah Ta’ala merahmati Imam Malik bin Anas yang berkata dalam ucapannya yang populer: “Tidak akan baik (keadaan) generasi terakhir umat ini kecuali dengan sesuatu (metode benar) yang telah memperbaiki (keadaan) generasi pertama umat ini”[44].

Nasehat dan penutup

Menuntut ilmu adalah jalan menuju Surga dan tanda kebaikan yang Allah kehendaki bagi seorang hamba-Nya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengikuti jalan yang benar dalam menuntut ilmu maka dia akan meraih kebaikan tersebut, dan sebaliknya, barangsiapa yang menyelisihi jalannya maka diapun tidak akan meraih kebaikan.

Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid – semoga Allah merahmatinya – mencantumkan perkara agung ini sebagai adab yang sangat penting dalam menuntut ilmu, beliau berkata:

“Jadilah kamu sebagai salafi (pengikut manhaj Salaf) yang sebenarnya, (dengan menempuh) jalan (metode beragama) para Salaf yang shalih dari (generasi) Shahabat y dan orang-orang yang setia mengikuti jejak mereka dalam semua perkara agama, baik dalam tauhid (aqidah), ibadah dan lain-lain. Istimewakan dirimu dengan selalu berkomitmen terhadap hadits-hadits Rasulullah r dan membiasakan diri selalu mengamakan sunnah beliau r, serta meninggalkan perdebatan (tanpa faidah), bantah-bantahan, berdalam-dalam membahas ilmu kalam, melakukan hal-hal yang menimbulkan dosa dan menghalangi dari syariat Islam”[45].

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik-Nya untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih, serta menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 26 Sya’ban 1437 H


[1] HSR al-Bukhari (no. 2948) dan Muslim (no. 1037).
[2] HSR Muslim (no. 2699).
[3] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/60).
[4] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 688).
[5] Dinukil oleh Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam “Hilyatul auliyaa’” (6/362).
[6] Dinukil oleh Imam Muslim dalam “Muqaddimah shahih Muslim” (1/43-44 – Syarhu shahih Muslim).
[7] Lihat penjelasan Imam al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (2/545 dan 6/383).
[8] Atsar riwayat Imam Al Bukhari dalam “Al Adabul Mufrad” (no 789) dan Abdurrazzak dalam “Al Mushannaf” (no 3787), dishahihkan oleh Ibnu hajar dalam “Fathul Baari” (10/510) dan dihasankan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasulullah r dan dishahihkan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 2510).
[9] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/729).
[10] Kitab“Fadhlu ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf” (hal. 6).
[11] Atsar riwayat Imam Al Bukhari dalam “Al Adabul Mufrad” (no 789) dan Abdurrazzak dalam “Al Mushannaf” (no 3787), dishahihkan oleh Ibnu hajar dalam “Fathul Baari” (10/510) dan dihasankan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasulullah r dan dishahihkan olah Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no 2510).
[12] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).
[13] Dinukil oleh Imam Muslim dalam “Muqaddimah shahih Muslim” (1/43-44 – Syarhu shahih Muslim).
[14] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam “as-Sunan” (1/124) dengan sanad yang shahih.
[15] Kitab “al-Anwaarul kaasyifah” (hlmn 96). Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam “al-Kifaayah fi ‘ilmir riwaayah” (hlmn 92).
[16] Atsar yang shahih dalam “Shahih Muslim” (1/12).
[17] Atsar yang shahih dalam “Shahih Muslim” (1/12).
[18] Dinukil oleh al-Khathiib dalam “al-Kifaayah” (hlmn 160) dan adz-Dzahabi dalam “Siyaru a’laamin nubalaa’” (8/67).
[19] Kitab “Hilyatu thaalibil ‘ilmi” (hlmn 39).
[20] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam “al-Jarhu wat ta’diil” (2/28).
[21] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam “al-Jarhu wat ta’diil” (2/28) dan al-Khathib al-Bagdadi dalam “al-Jaami’u li-akhlaaqir raawi wa aadaabis saami’” (1/190).
[22] Kitab “al-Jaami’u li-akhlaaqir raawi wa aadaabis saami’” (1/189).
[23] Atsar shahih dalam muqaddimah “shahih Muslim” (1/12).
[24] Dinukil oleh Imam al-‘Uqaili dengan sanadnya dalam kitab “adh-Dhu’afaa’ al-kabiir” (1/13-14).
[25] Semua dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Syarhu ‘ilalit Tirmidzi” (1/387-388).
[26] Kitab “Muqaddimah shahih Muslim” (1/18).
[27] Kitab “Syarhu ‘ilalit Tirmidzi” (1/387).
[28] Kitab “al-Kaamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (3/216).
[29] Kitab “Tadriibur raawi” (1/332).
[30] Kitab “ats-Tsiqaat” (1/13).
[31] Kitab “Lisaanul miizaan” (1/14).
[32] Lihat kitab “al-Kifaayah fi ‘ilmir riwaayah” (hlmn 81).
[33] Lihat kitab “Dhawa-bithul jarhi wat ta’diil” (hlmn 35-36).
[34] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam “as-Sunan” (1/124) dengan sanad yang shahih.
[35] Kitab “al-Anwaarul kaasyifah” (hlmn 96). Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam “al-Kifaayah fi ‘ilmir riwaayah” (hlmn 92).
[36] Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 30 – cet. Daar Ibni Rajab).
[37] Atsar shahih dalam muqaddimah “shahih Muslim” (1/12).
[38] Dinukil oleh Imam al-‘Uqaili dengan sanadnya dalam kitab “adh-Dhu’afaa’ al-kabiir” (1/13-14).
[39] HSR al-Bukhari (3/1335) dan Muslim (no. 2534).
[40] Artinya kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama.
[41] Kitab “I’laamul muwaqqi’iin” (4/136- cet. Daarul jiil, Beirut, 1973).
[42] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi wa aadaabis saami’” (1/215).
[43] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Mizzi dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/118).
[44] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Iqtidha-ush shiraathil mustaqiim” (hlmn 367) dan Imam Ibnul Qayyim dalam “Igaatsatul lahfaan” (1/200).
[45] Kitab “Hilyatu thaalibil ‘ilmi” (hlmn 12).

*****

Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel www.ManisnyaIman.com